pengantar | Kurator
SP(HERE).
Tubuh kita tersusun dari sejumlah sejarah yang menyertainya, baik yang dialami secara langsung maupun tidak. Memaknai sejarah tersebut secara holistik dapat dipandang sebagai jalan mencari makna atau dalam kacamata kami melihat yang spiritual. Oleh sebab itu, saya menawarkan pembacaan mengenai spiritualitas urban yang terwujud dalam SPHERE. SPHERE memberikan pemaknaan mengenai keluasan dan ruang lingkup. Dengan demikian kita bisa punya kepercayaan bahwa penggalian mengenai kenyataan spiritualitas ini akan meluas dan melebar di banyak konteks dengan berangkat dari praktik koreografi.
Dalam praktik ketubuhan, usaha memandang yang spiritual sebagai jalan koreografis sudah cukup panjang usianya. Dari gebrakan tari modern di Barat hingga penelusuran ke timur. Sedang di timur sendiri, yang spiritual dan profan dalam seni tak benar tampak batas bedanya. Seiring menguatnya rasionalitas sebagai jalan yang utama menemukan kebenaran, spiritualisme dilirik sebagai praktik penanding narasi tersebut. Di sinilah, dalam SPHERE yang kita ciptakan, bisakah pengalaman koreografi dan estetika tari memaknai hal-hal yang ditertibkan oleh zaman dan dampaknya pada keseimbangan hidup?
Saya membayangkan bahwa peradaban dan sejumlah kemajuan yang diturunkannya telah menertibkan tubuh kita untuk mencapai nilai yang dianggap “penting”. Dalam keteraturan tersebut, nilai apa yang sebenarnya tengah diperjuangkan? Adakah kita menyadari kenyataan pada pengalaman ketubuhan yang dicerabut daripadanya? Dalam segala kenikmatan yang ditawarkan modernitas, adakah kita punya celah bertanya, bagaimana kemudian tubuh saya beradaptasi dan mencapai harmoni dengan sifat habitat hari ini?
Sebagaimana SPHERE yang begitu luas, setiap perubahan memiliki dampak yang bertentangan. Ia bisa baik, ia bisa juga meneror. Pertentangan ini adalah puzzle yang saling melengkapi. Segala janji kemudahan hidup yang dibawa oleh agenda kemajuan teknologi, saya pikir, membuat kita membayarnya dengan keterpisahan pada pengalaman tubuh. Kita tak bisa lagi percaya bahwa aktivitas fisik seperti jalan kaki atau makan seimbang menjamin kesehatan fisik manusia hari ini. Bagaimana dengan udara yang tercemar polusi pabrik yang kita hirup ketika berjalan kaki atau pestisida pada hasil tani. Jadi, dalam proses kehidupan yang semakin canggih dan dalam cengkeraman agenda urban, kita tak memiliki daya tawar mengantisipasi potensi “sakit” tersebut.
Meskipun sakit yang klinis akibatnya bisa fatal dan seketika, kita juga perlu mengantisipasi sakit lain yang muncul karena tekanan kapitalisme, agenda urban, serta usaha mendorong kemajuan lainnya. Misalnya, sakit yang menjangkit masyarakat kita. Yang merusak sistem nilai yang berlaku. Menjalar tanpa disadari karena kita terbuai pada kesenangan yang tak berkelanjutan, tak harmonis dengan keutuhan diri dalam ekosistem yang lebih luas. Kita tak punya daya menghentikan kanker yang merusak sistem ketahanan hidup yang berkualitas. Antara yang klinis dan yang menjalar di antara kehidupan bermasyarakat, seni adalah penawar yang baik.
Dalam praktik tari, telah banyak koreografer mencoba memeriksa kembali soal bagaimana tubuh sebenarnya berkorelasi dengan huniannya. Hunian di sini berarti komunitas, kota, negara, benua hingga planet. Sementara itu, kita hari ini telah berjalan begitu jauh dengan kenyataan bahwa lingkungan yang kita huni punya dampak pada tubuh kita dan vice versa. Dengan segala kecanggihan yang bisa kita upayakan, kita merasa unggul. Kita mampu melampaui kenyataan organik misalnya tentang penuaan atau penciptaan manusia dengan kecanggihan teknologi. Namun, kecanggihan ini pun bersifat eksklusif. Hanya segelintir orang mampu mengaksesnya. Sedangkan yang tak punya akses pada kecanggihan, terpuruk makin jauh – kena dampak kemajuan dan bergumul dengan keterasingan.
Kita berdebat soal ini, antara tubuh, pikiran dan rasa. Seringkali lupa menempatkan tubuh di ekosistem yang lebih luas dan melihat keseimbangannya dengan hunian tersebut. Kita menyempitkan pandangan pada hal praktis guna mempertahankan eksistensi tubuh yang terlihat dan segera mengecilkan porsi lain yang tak berbentuk. Sebut saja emosi. Mengapa kemudian lebih penting menjaga ketahanan fisik ketimbang kesehatan mental? Seringkali kesehatan emosional kita dikesampingkan manakala tubuh kita dianggap masih mampu menahan beban.
SPHERE adalah sebuah tawaran melihat kehidupan dalam masa modern dan pascamodern mengenai tubuh kita dan relasi dengan yang lainnya. Melalui tawaran di dalamnya, kita memposisikan ulang sebuah peta panjang tentang makna hidup dengan melihat pada apa yang “maju” dan apa yang “penting” dalam satu tataran. Menavigasi hidup dalam situasi mencapai kepenuhan yang didambakan oleh setiap orang. Dalam tari dan perpanjangan praktik koreografis, perjalanan artistik mencari keseimbangan hidup dalam harmonisasi manusia dengan alam dan aspek lainnya. Sejumlah pelampauan artistik terinspirasi dari gerakan planet dan bio-organik di dalamnya. Jauh sebelum maraknya internet, sekitar tahun 1920an, para penari di Amerika berusaha menawar semangat kapital melalui bentuk-bentuk seni yang menyatu dengan alam.
Dalam tari, gebrakan utama adalah yang dilakukan oleh Isadora Duncan dan kemudian penerusnya Ruth St, Denis dalam memandang alam sebagai sumber penciptaan mereka dan spiritualisme sebagai jalan keseimbangan. Tak hanya bicara tentang hal-hal yang esensial, mereka mengadopsi mekanisme alam dalam paradigma tubuh yang bergerak dan terkomposisi. Mereka menabrak pakem yang melahirkan gairah artistik tersebut dengan penelusuran tentang keseimbangan. Mereka yang dahulu besar dalam konteks Amerika dan sejarahnya menyadari bahwa tubuh mereka lebih daripada negara tersebut. Sesungguhnya tubuh setiap manusia menyimpan sejarah pergerakan yang seimbang – antara yang emosional dan rasional – demi guna keberlangsungan.
Jauh dari pusaran barat tersebut, kita di timur atau jauh di Selatan Afrika, menyimpan kekayaan tentang keterhubungan tubuh dengan momen-momen bumi bergerak. Kita membayangkan bahwa setiap tubuh adalah museum dari pergerakan bumi. Inti dari tubuh kita juga terhubung dengan inti dari tubuh bumi, pada ilmu yang lain. Pada gerak yang berpusat pada pelvis sebagai perlambangan pusat energi bumi dalam tubuh manusia. Pada gerakan membumi lainnya, sebagai keterikatan kita pada tanah kita berpijak. Kita temukan dalam tradisi nusantara hingga lebih jauh dalam praktik kontemporer global yang dibawa oleh Germaine Acogny yang menelusuri gerak tari Afrika. Gerak- gerak ini yang kemudian diadaptasi pada lingkungannya baru dalam konteks masalah yang lain.
Dalam kacamata urban, mempelajari tubuh dalam sejarah ini, kemana tubuh kita terhubung hari ini? Dalam dominasi teknologi, dalam wacana AI menggantikan manusia sebagai pusat, antara manusia dengan bumi , dimana kita bertemu? Apakah instagram adalah pusat baru yang harus kita maknai sakral? Atau, lupakan media sosial, dan kita bergerak sebagaimana tubuh kita sebenarnya berporos secara organik?
Saya tak sedang mengalahkan satu hal dengan hal lainnya, saya sedang menawarkan suatu hal lain. Mencari alternatif tentang perjalanan kemanusiaan. Kembali pada pernyataan sebelumnya, haruskah manusia memaknai peradaban dengan menegasi sifat alamiah huniannya? Haruskah kita mendukung modernisme dengan janji kemajuan yang tak memperhitungkan keselarasan tubuh dengan alam? Agenda urban mengalahkan kebutuhan kita untuk diam. Tentu, karena urbanisme adalah sebuah propaganda tentang percepatan. Percepatan identik dengan fungsi. Dan fungsi menuntut kita untuk selalu produktif.
Mengenai fungsi dan kenikmatan, bisakah kita membayangkan diri kita merelakan waktu membuat kopi di suatu waktu yang setumpuk target kerja meneror belakang punggung kita? Sesendok kopi dituang ke mesin penyaring kopi, menanti air mendidih untuk membilasnya, dan pekerjaan merongrong kita melalui teks gawai yang tiada henti. Ah, lebih baik pergi ke warung kopi untuk bisa menyesap nikmat harumnya kopi dan menyelesaikan tenggat. Bagi saya, perbedaannya terletak pada keleluasaan diri kita membiarkan aktivitas kita lepas dari fungsi. Sesekali membiarkan kenikmatan sebagai prioritas. Dan dalam kenikmatan itu, kita mendapatkan hening yang penuh. Masih bisakah kita menemukan hal yang sama dengan aktivitas kolektif minum kopi yang kini populer sebagai gaya hidup? Di ruang kopi, Safrizal atau Dekjal ak an menelusuri yang spiritual dalam konteks yang sekuler.
Mengapresiasi kenikmatan sejalan pula dengan pemaknaan kita terhadap keindahan. Tanpa kita sadari, standar keindahan kita masih didominasi oleh nilai-nilai fungsi. Masihkah keindahan kita terparti harus pada lekuk-lekuk tubuh biola yang berisi seperti pada penjenamaan dewi-dewi Yunani? Yang berasosiasi pada fungsi produktivitas. Atau karena pengaruh iklan yang menjajakan tubuh feminin pada sebuah ideal utopis – sebagai distraksi –sehingga dihadirkan begitu lurusnya, tak menyimpan luka, putih bersinar terang? Apakah kita tak punya tawaran tentang keindahan yang partikular, yang sesuai dengan kebutuhans masing-masing individu baik sebagai resipien maupun mereka yang memiliki ciri tersebut?
Bisakah kita membebaskan diri melihat estetika lain untuk menikmati keberagaman rupa? Sulit. Jelas. Namun adakah keindahan yang tak terkatakan yang tak pernah kita nikmati sebelumnya? Misalnya pada peristiwa yang selalu memisahkan manusia satu dengan lainnya fenomena biologis, seperti menstruasi. Adakah keindahan kita sadari di antara kesakitan tersebut? Keranuman? Resiliensi yang tak harus serta menjadi kuat (kuat dalam pengertian kualitas fisikal)? Sesuatu yang akan dibicarakan oleh Siti Alisa dalam karya pembuka JICON 2023.
Tentang keindahan ini seringkali berbenturan pada nilai-nilai. Kita selalu permisif dengan menyatakan “yang indah untuk Anda, belum tentu indah untuk saya karena lain ladang lain belalang”. Benarkah? Ataukah pernyataan ini sekadar menghindar dari suatu ketidaknyamanan menyerap tawaran yang lain dari keindahan? Misal, yang melompat jauh dari norma, dari tatanan? Apakah kita, dengan segala perkembangan basa-basi khas urban, merasa perlu memberi alasan mengapa kita menolak suatu hal yang tidak nyaman diproses oleh pikiran dan terutama oleh batin kita? Dalam khazanah Tari Melayu, atau banyak tari lainnya yang terikat pada tradisi dengan begini begitu, kita sadar bahwa setiap manusia ditempatkan dan berlaku menurut fungsinya. Bagaimana bila dalam tari kali ini, kita ditantang untuk keluar dari fungsi dan melihat, misal, bagaimana manusia mampu berekspresi keluar jauh dari habitatnya? Seperti dalam karya Syimah Sabtu, penari dan koreografer Singapura, yang berjalan dalam konteks Singapura dan tari melayu. Apakah ia turut dalam pembentukan citra melayu dalam hegemoni Singapura tertentu atau dengan caranya ia menawar posisi dirinya pada konstelasi tersebut? Dengan intensitas, minimalism, dan repetisi, apakah Syimah Sabtu tengah melakukan Tahajud memohon pencerahan pada keterbatasan ekspresi dalam konteks ia berada?
Selain ketiga karya pertunjukan yang masih menghadirkan estetika tari sebagai titik berangkat wacana penciptaan, kami menghadirkan pula program lain dalam JICON yang akan membuat Anda berpikir ulang mengenai tari, tubuh, dan tema spiritualitas urban dalam SPHERE. Sudahkah kita melihat semua keluasan kemungkinan penciptaan berbasis tubuh pada tataran urban hari ini? Apakah panggung telah memerangkap pandangan kita tentang tubuh yang bergerak, estetika dan komposisi sehingga kewajaran dan disiplin lain mengganggu saya mengalami tari?
Kami menghadirkan MERUANG. Ini program yang diteruskan dari Komite Tari sebelumnya dengan beberapa pelebaran. Dalam MERUANG, kami tak hanya berhenti pada praktik estetik tari yang dipertemukan dengan disiplin lain tapi kami menghadirkan disiplin tari secara luas (penciptaan, kritik, akademik, bahkan sisiran dengan pertunjukan performans) dengan disiplin lain yang mempertajam kehadiran tubuh dalam pemaknaannya. Dengan tetap berangkat dari semangat spiritualitas urban , kami menghadirkan kerja kolaborasi dalam dua karya MERUANG. Yang pertama, MERUANG antara tari dan seni fotografi yang akan mempertanyakan dan menjelajahi kehadiran tubuh di luar batas rekognisi dan ketakterbatasan relasi manusia bila tanpanya. Yang kedua, MERUANG antara tubuh tari, performatif, dan kampung kota di Jakarta yang menghadirkan resiliensi warga pada gempuran urban melalui kerja-kerja performativitas.
Mengisi SPHERE JICON 2023, Anda dapat menemukan program Komite Tari lainnya yaitu Telisik Tari dan Imajitari. Telisik Tari adalah bagian tak terpisahkan dari percakapan isu JICON kali ini. Berangkat dari hasil riset yang dilakukan sebelumnya mengenai ritual Tari Seblang, kami menghadirkan lapisan tradisi dan spiritual yang masih berkait erat dengan masyarakat pendukungnya. Ini bisa menjadi pengalaman lain bagi masyarakat urban yang telah tercerabut dari yang sakral di tengah kesibukan berdayaguna. Sedang dalam program Imajitari, kita dibiarkan hanyut dengan pemaknaan
kamera video pada gerak koreografi yang beranekaragam dengan tawaran estetika yang melampaui panggung.
Dari rangkaian program ini, tawaran kuratorial saya kepada Anda penikmat tari dan seni pertunjukan secara luas adalah melihat kembali SPHERE yang terlalu luas dan seringkali kita sempitkan dalam pengertian urban yang praktis. Keluasaan ini akan membawa Anda pada kenikmataan dan pencapaian spiritualitas yang lain daripada yang diusahakan oleh Duncan, St. Denis atau Germain Acogny. Sesuatu yang dekat tetapi hilang oleh kepraktisan, kecepatan, dan for the sake of productivity.
Dalam situasi urban, kita mungkin tersesat dalam ingar-bingar kesenian praktis, gemerlap dan meniadakan proses panjang pencarian. Ada paksaan untuk memalingkan muka pada yang spekulatif, termasuk potensi kegagalan mencapai mutu artistik. Seolah darinya, tak ada faedah dapat dimaknai. JICON 2023 memberi harapan pada setiap karya dan individu yang ingin menelusuri jalan panjang kenikmatan hidup dalam keseimbangan tanpa seketika menimbang nilai ekonomi di dalamnya, menimbang viralitas, dan segenap prinsip lain yang diperlukan untuk terekognisi oleh skena. Kami membawa Anda pada sebuah lapisan yang memanjangkan jarak pandang mengenai pertemuan dan karya. Setiap hasil olah kreativitas adalah pintu masuk menuju pertanyaan lain yang perlu ditempuh dengan proses lain lagi. Oleh sebab itu, semua yang terberi, terpampang, dan tersaji adalah tawaran yang bisa diuji, dikritisi dan lebih lagi dikembangkan sebagai jalan memaknai spiritualitas kita sebagai masyarakat urban. Selamat beribadah.
Jakarta, 26 Oktober 2023
Rebecca Kezia